Bab I Pendahuluan
A. Latar belakang
Perbedaan semua
hala yang terjadi di masa sekarang dengan masa yang lalu. Dalam hal tafsir kita
juga harus mengerti tafsir-tafsir di masa Nabi Muhammad dan setelahnya. Di
karenakan di masa lalu itu biasanya menjadi pedoman dan acuan untuk masa
sekarang ini. Tafsir penting Karena untuk alat mengambil inti sari dan maksud
dari dalam AL-quran. Di mana bahasa Al-quran itu tidak bisa dengan perkiraan
bahasa lain, karena jika kita salah artikan bisa-bisa semua hukum yang di ambil
salah dan bisa keluar dari jalan kaidah Islam.
Kita juga harus
mengetahui tafsiran tafsiran yang ada pada zaman—zaman sesudah Nabi Muhammad
SAW dan ciri-ciri yang tampak dalam masa-masa tertentu.
B. Tujuan Penulis
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mencari tahu
tentang tafsir di masa-masa sesudah Nabi Muhammad dan para Sahabat ,untuk
menambah pengetahuan kita akan sejarah tafsir yang sudah samapai pada jaman
modern seperti sekarang, dan juga sebagai bahan materi memperluas wawasan
pengetahuan kita dalam studi agama islam baik bagi penulis maupun pembaca.
Bab II Tafsir Pada Masa Tabi’in
Setelah meninggalnya Rasulullah yang kemudian
perpindah kepemimpinan diserahkan kepada Khalifah rasydhin menjadikan daerah
kekuasa Islam meluas sehingga memaksa para Sahabat berhijrah guna mengajarkan
hakikat Islam yang sebenar-benarnya kepada masyarakat luas. Maka di sini kita
akan mendapatkan Madrasah, Sekolah serta Mazhab-Mazhab yang mengkaji Islam
secara luas yang dibawahi oleh para Sahabat sehingga menjadi landasan
terbentukya para Tabiin yang paham akan ayat-ayat Al-qur’an dengan bimbingan
serta arahan para Sahabat Rasulallah. Selain itu kita juga akan mendapatkan
Madrasah yang terkenal yang mengkaji Al-qur’an pada waktu itu seperti :
Madrasah tafsir di Mekah yang dikepalai oleh Abdullah bin Abbas.
Imam Suyuthy
mengutip pendapat Ibnu Taimiyah, bahwa berkata: "Orang yang paling pandai
tentang tafsir adalah orang-orang Makkah yaitu Abdullah bin Abbas".yang
telah membentuk seorang Tabi’in yang handal dalam masalah tafsir seperti:,
Mujahid bin Jabar, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kaisan Al- Yamany, dan
Atha bin Aby Rabbah, Said Bin Juber
Di bawah ini kami
tuliskan otobiografi ringkas tentang kehidupan ulama-ulama tadi.
A. Mujahid bin Jabar
Mujahid dilahirkan
pada tahun 21 Hijrah dan meninggal pada tahun 103 Hijrah. Nama lengkapnya
Mujahid bin Jabar yang bergelar Abu Hajjaj Al-Makky. Ia seorang ulama yang
terkenal dalam tafsir. Adz-Dzahaby mengatakan: "Ia adalah guru ahli baca Al-Qur'an
dan ahli tafsir yang tidak diragukan. Ia mengambil tafsir qur'an dari Ibnu
Abbas". Ia salah seorang murid Ibnu Abbas yang paling hebat dan yang
paling dipercaya untuk meriwayatkan tafsir. Oleh karenanya, Imam Bukhari banyak
berpegang pada tafsirnya, sebagaimana halnya ahli-ahli tafsir yang lain, mereka
juga banyak berpegang atas riwayatnya. Ia sering mengadakan perjalanan kemudian
menetap di Kufah. Bila ada hal yang mengagumkan dia, maka ia pergi dan
menyelidikinya.
Mujahid belajar
Tafsir Kitabullah Al-Qur'an dari gurunya, Ibnu Abbas dengan cara membacakannya
pada Ibnu Abbas dengan penuh pemahaman, penghayatan dan penelitian pada setiap
ayat Al-Qur'an, kemudian Mujahid menanyakan artinya dan penjelasan
rahasia-rahasianya.
Imam Al-Fudhail bin Maimun meriwayatkan dari Mujahid bahwa ia berkata:
"Aku pernah menyodorkan Al-Qur'an kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali,
dimana pada setiap ayat aku berhenti sambil menanyakan: "Dalam hal apa
ayat itu diturunkan dan bagaimana ayat tersebut diturunkan?"
Pertanyaan yang diajukan Mujahid kepada gurunya itu semata-mata hanya untuk
minta penjelasan Al-Qur'an, mengetahui rahasia-rahasianya dan memahami
hikmah-hikmah serta hukum-hukumnya. Sehubungan dengan itu Imam Nawawi berkata:
"Apabila datang kepadamu tafsir dari Mujahid maka cukuplah untukmu".
Artinya tafsir itu sudah cukup, tidak perlu lagi tafsir yang lain apabila
perawinya Imam Mujahid.
B. Atha bin Aby
Rabbah
Ia dilahirkan pada
tahun 27 Hijrah dan wafat pada tahun 114 Hijrah. Ia hidup di Makkah sebagai
ahli fatwa dan ahli hadits bagi penduduknya. Ia seorang Tabi'in yang tergolong
tokoh-tokoh ahli fiqh. Ia sangat percaya dan mantap kepada riwayat Ibnu Abbas.
Imam besar Abu
Hanifah An-Nu'man berkata: "Aku belum pernah jumpa dengan seorang yang lebih
utama daripada Imam 'Atha' bin Aby Rabbah". Qatadah mengatakan:
"Tabi'in yang paling pandai itu ada empat, yaitu: 'Atha' bin Aby Rabbah
seorang yang paling pandai tentang manasik, Sa'id bin Jubair orang yang paling
pandai tentang tafsir dan seterusnya", Ia meninggal dunia di kota Makkah
dan dikebumikan juga di kota itu dalam usia 47 tahun.
C. Ikrimah Maula
Ibnu Abbas
Ia lahir pada tahun
25 Hijrah dan wafat pada tahun 105 Hijrah. Imam Syafi'i pernah mengatakan
tentang dia: "Tidak ada seorangpun yang lebih pintar perihal Kitabullah
daripada Ikrimah", ia adalah maula (hamba) Ibnu Abbas r.a. ia menerima
ilmunya langsung dari Ibnu Abbas, begitu juga Al-Qur'an dan Sunnah", ia
mengatakan: "Aku telah menafsirkan isi lembaran-lembaran mushhaf dan
segala sesuatu yang aku bicarakan tentang Al-Qur'an, semuanya dari Ibnu
Abbas".
Tentang
otobiografinya dalam kitab Al-I'lam disebutkan sebagai berikut: "Ikrimah
bin Abdullah Al-Barbary Al-Madany, Abu Abdillah seorang hamba Abdul1ah bin
Abbas, adalah Tabi'in yang paling pandai tentang tafsir dan kisah-kisah
peperangan, ia sering merantau ke negara-negara luar. Diantara tiga ratus orang
yang meriwayatkan tafsir daripadanya tujuh puluh lebih adalah golongan tabi'in.
Ia pernah juga ke Maghrib untuk mengambil ilmu dari penduduknya kemudian ia
kembali ke Madinah Al-Munawwarah. Setelab ia kembali di Madinah ia dicari
Amirnya, tetapi ia menghilang sampai mati.
Kewafatannya di
kota Madinah bersamaan dengan kewafatan seorang penyair tenar Kutsayyir Azzah
dalam hari yang sama, sehingga dikatakan orang: "Seorang ilmiawan dan
seorang penyair meninggal dunia".
D. Thawus bin
Kaisan Al-Yamany
Ia dilahirkan pada tahun 33 Hijrah dan wafat pada tahun 106 Hijrah, ia terkenal
sebagai penafsir Al-Qur'an. Kemahirannya menunjukkan tentang hafalan,
kecerdasan, dan ketakwaannya serta jauh dari keduniawian, dan ahli islah, ia
menjumpai sekitar lima puluh orang sahabat. Banyak orang-orang yang menerima
ilmu pengetahuan daripadanya, ia seorang ahli ibadah serta tidak terpengaruh
pada dunia. Dituturkan orang ia menunaikan ibadah haji di tanah haram sebanyak
empat puluh kali. Kalau ia berdo'a selalu dikabul, sehingga Ibnu Abbas pernah
berkata: "Aku menduga Thawus adalah ahli surga".
Dalam kitab Al-I'lam disebutkan tentang otobiografinya sebagai berikut:
"Thawus bin Kaisan Al-Khulany Al-Hamdany Abu Abdirrahman adalah tergolong
Tabi'in yang sangat besar tentang pengetahuan agamanya, riwayat haditsnya,
kesederhanaan hidupnya dan keberaniannya memberi nasihat kepada
khalifah-khalifah dan raja-raja. Beliau berasal dari Persia sedang tempat
kelahiran dan kedewasannya adalah Yaman. Ia wafat pada waktu menjalankan ibadah
haji di Muzdalifah, yang ketika itu seorang hhalifah Hisyam bin Abdul Malik
sedang menunaikan haji juga, lalu beliau menyembahyangkannya.
Ia enggan mendekati Raja-raja dan Amir-amir, Ibnu Taimiyah mengatakan:
"Orang yang selalu menjauhi Sultan itu ada tiga yaitu, Abu Dzar, Thawus
dan Ats-Tsaury".
Sedangkan Madrasah tafsir di Madinah dikepalai oleh Abi Bin kab yang mempunyai
murid: Zaid bin Aslam, Abu Aliyah dan Muhammad bin Kab Qurjiy mereka yang
langsung mengambil ilmu tafsir dari Abi.
Adapun Madrasah
tafsir yang terletak di Irak dikepalai oleh Abdullah bin Mas’ud yang banyak
menggunakan tafsir dengan ra’yu dan ijtihad dalam metode menafsirkan al-qur’an
sehingga menjadikan mereka ahli ra’yu dan ijtihad, adapun murid-murid beliau;
Alqomah bin Kues,
Masruk, Al- Aswad bin Yazid, Murotul Hamdani, Amiru Syaby, Al- Hasan Al-
Basory, Qotadah
NILAI TAFSIR
MA’TSUR TABI’IN.
Setelah kita
membahas Madrasah tafsir dan orang-orang yang berkecimbung di bidang tersebbut
sekarang kita beranjak kepada nilai tafsir ma’sur dari Tabi’in menurut kaca
mata ulama Islam’’ para ulama banyak berbeda pendapat dalam menyikapi tafsir
Tabi’in yang perkataan mereka tidak dilandasi dengan hadist dari Rasulallah
ataupun Sahabat.
Maka disini Imam
Ahmad memberiskan dua gambaran yang pertama “menerima dan yang kedua “menolak
tafsir Tabi’in menurut Ibnu Aqil yang diceritakan dari Sa’bah dengan dalil”
1. Bahwa Tabiin
tidak mendengar dari Rasulallah maka tidak mungkin dapat disamakan tafsir
mereka dengan tafsirntya sahabat yang mendengar Rasulallah secara langsung.
2. Mereka tidak
menyaksikan secara langsung pembacaan dan keberadaan turunya Al-qur’an maka bisa
saja pendapat mereka salah dalam memahami maksud Al qur’an dan menyangka yang
bukan dari dalilnya menjadikan dalilnya. Maka dari sini tafsir Tabiin tidak
bisa dijadikan nas yang qat’i kebenarannya, berbedah dengan penafsiran Sahabat.
Sebagaimana yang dinukilkan oleh Abu Hanifah” Apa-apa yang datang dari
Rasulallah maka aku tunduk dan patuh terhadapnya, dan apa-apa yang datang dari
Sahabat maka kita bisa memilihnya, dan apa-apa yang datang darI Tabiin mereka
adalah lelaki dan kita juga lelaki.
Namun demikian, ada
juga sebagian ulama yang mengambil serta menjadikan perkataan Tabiin sebagai
salah satu dalil dalam tafsir mereka dengan alas an, karena sebagian besar para
Tabiin belajar tafsir dari Sahabat seperti” Mujahid, Said bin Juber beliau
belajar tafsir dengan ahlinya pada jaman Sahabat yaitu Abdullah bin Abbas.
Sedangkan menurut
Ustadz Az-Zarqany dalam kitabnya Manahilul Irfan menyebutkan dengan kata-kata
yang begitu baik tentang tafsir dengan ma'tsur setelah beliau mengemukakan
kutipan dari Imam Ahmad ra., dan Ibnu Taimiyah. Beliau berkata: "Pendapat
yang paling adil dalam hal ini ialah bahwa tafsir dengan ma'tsur itu ada dua
macam:
Pertama: Tafsir
yang dalil-dalilnya memenuhi persyaratan shahih dan diterima. Tafsir yang
demikian tidak layak untuk ditolak oleh siapapun, tidaklah dibenarkan untuk
mengabaikan dan melupakannya. Tidak benar kalau dikatakan bahwa tafsir yang
demikian itu tidak bisa dipakai untuk memahami Al-Qur'an bahkan kebalikannya,
tafsir tersebut adalah sarana yang kuat untuk mengambil petunjuk dari
Al-Qur'an.
Kedua: Tafsir yang
dalil sumbernya tidak shahih karena beberapa faktor maka tafsir yang demikian
harus ditolak dan tidak boleh diterima serta tidak patut untuk dipelajari
(ditekuni). Kebanyakan ahli tafsir yang waspada seperti Ibnu Katsir selalu
meneliti/memperhatikan sampai dimana kebenarannya yang mereka kutip dan
kemudian membuangnya yang tidak benar atau dha'if.
Sedangkan menurut
Ustadz Muhammad Husen Adzhabi” Bahwasanya perkataan Tabiin didalam tafsir tidak
wajib untuk diambil manjadi dalil, kecuali apabila tidak ada bidang ra’yu
didalamnya, maka kita boleh mengambilnya menjadi sebuah dalil jikalau tidak ada
keraguan didalamnya, namun apabila terdapat keraguan didalamnya seperti mereka
mengambil dari Ahli kitab, maka hal tersebut kita tinggalkan dan jangan
menyandarkan diri padanya, namun apabila hal tersebut keputusan hasil
musyawarahnya para Tabiin dengan menggunakan ra’yu mereka, maka wajib bagi kita
untuk menjadikannya dalil dan jangan menyandarkan pendapat kita kepada yang
lain.
KARAKTERISTIK
TAFSIR DIMASA TABIIN.
1. Terkontiminasinya tafsir dimasa ini, dengan masuknya Israiliat dan
Nasraniyat, yang bertentangan dengan 'aqidah Islamiyah. Yang dibawa masuk ke
dalam kalangan umat Islam dari kelompok Islam yang dahulunya Ahli kitab seperti
Abdullah bin Salam, Ka'ab Ahbar, Abdul Malik bin Abdul Ajiz ibnu Jariz.
2. Tafsir pada jaman dahulu senantiasa terpelihara dengan metode talaki dan
riwayat akan tetapi pada jaman Tabi’in metode dalam periwayatannya dengan metode
globalsehingga tidak sama aseperti dijaman Rasulallah dan Sahabat.
3. Munculnya
benih-benih perbedaan mazhab pada masa ini, sehingga implikasi sebagian tafsir
digunakan untuk keperluan mazhab mereka masing-masing.sehingga tidak diragukan
lagi ini akan membawa dampak bagi tafsir itu sendiri.seperti Hasan Al-basari
telah menafsirkan
Al-qur’an dengan menetapkan qadar dan mengkafirkan orang yang mendustainya.
4. Banyaknya
perbedaan pendapat dikalangan para Tabiin didalam masalah tafsir.walaupun terdapat
pula dijaman sahabat namun tidak begitu banyak seperti dijaman Tabi’in
Bab III Tafsir di
Masa Tadwin
Penafsiran pada
masa Tadwin di bagi menjadi 5 tahapan, yaitu :
1. Tahap Pertama
Tahap ini adalah
tafsir pada masa Dinasti Umayyah. Tafsir masih belum di bukukan secara
sistematis, yaitu di susun secara berurutan ayat demi ayat dan surah demi surah
dari awal Al Quran sampai saat ini. Tetapi hanya merupakan usaha sampingan dari
para ulama dalam rangka mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar diberbagai
daerah. Karena pada waktu itu, para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadis,
sehingga tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang di
cakupnya, dan tafsir tersebut di bukukan dalam bentuk bagian dari pebukukan
hadis.
2. Tahap kedua
Al Quran di
tafsirkan secara sistematis, sesuai dengan tertib mushaf. Usaha ini mulai
berlaku di akhir abad III Hijriyah dan berakhir pada awal abad V Hijriyah.
Dalam pengambilan
riwayat, terkadang juga di sertai dengan adanya pentarjihan terhadap
pendapat-pendapat yang di riwayatkan Dan memberikan kesimpulan sejumlah hokum
serta menjelaskan kedudukan kata jika di perlukan. Sebagaimanayang di lakukan
oleh At tabari dalam kitabnya Jamiul Bayan fi Tafsir-ilQuran.
3. Tahap Ketiga
Tahap ini adalah
tafsir pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini tafsir mulai di bukukan
dengan cara meringkas sanad dan hadis yang mengandung penafsiran dan menukil
pendapat para ulama tanpa menyebutkan orangnya. Sehingga menyulitkan dalam
membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para
mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan
dari tafsir tersebut. Hal itu menyebabkan mufassir berbeda pendapat yang tajam
ketika menafsirkan ayat 7 dalam surah Al Fatihah hingga sepuluh pendapat ,
padahal para ulama tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani.
4. Tahap Keempat
Pembukuan tafsir
banyak di warnai dengan buku-buku terjemahan dari luar Islam. Sehingga metode
penafsiran bil ra’yi (dengan akal) lebih dominan di bandingkan dengan metode
bin naqli (dengan periwayatan). Pada periode ini juga mulai terjadi spesilisasi
tafsir menurut bidang keahlian para mufassir. Pakar fikih menafsirkan ayat Al
Quran dari segi hukumnya seperti Al Qurtubi. Pakar sejarah melihatnya dari
sudut sejarah seperti Ats Tsa’labi, Al Khazin dan lain lain.
5. Tahap kelima
Tumbuhnya tafsir
Maudhui yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai
disiplin bidang keilmuan seperti yang di tulis oleh Ibnu Qoyyim dalam At Tibyan
fi Aqsam-il Quran, Abu Ja’far An Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al Wahidi
dengan Asbab-un Nuzul dan Al Jashsash dengan Ahkam-ul Quran.