Recent Posts

-

Senin, 30 Juli 2012

Ghibah

Secara bahasa ghibah bisa diartikan sebagai mengatakan sesuatu yang benar tentang seseorang di belakangnya tetapi hal itu tidak disukai oleh orang yang dibicarakan. Dalam islam perihal gosip di masukan ke dalam ghibah karena dalam prakteknya sama dengan berghibah yakni sama-sama membicarakan orang lain dibelakangnya dan umumnya pembicaraan itu menyangkut aib atau keburukan objek yang dibicarakan. Para alim ulama sepakat bahwa ghibah termasuk dosa besar sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 12 :"Hai orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. sukakah salah satu diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha penerima tobat lagi Maha Penyayang".
          Pada umumnya orang berghibah ketika ia sedang marah atau kesal pada seseorang yang ia benci atau pun ketika ia merasa cemburu atau iri hati pada orang lain. Namun pada saat ini yang paling mengherankan adalah dengan bergosip seolah-olah kita mampu membuat orang lain tertawa dan bahagia meski yang dibicarakan adalah aib atau keburukan orang lain dan terkadang gosip tidak dianggap sebagai dosa dan parahnya pada saat ini banyak orang-orang yang mencari nafkah dengan cara bergosip, sebagaimana maraknya acara infotainment seputar gosip kehidupan artis di televisi.
          Untuk menghalau gosip atau ghibah caranya sadarilah bahwa hal itu dosa besar dan hindarilah ucapan-ucapan yang akan mendekati ghibah dengan cara meluruskan dan menyelaraskan antara hati ucapan dan tindakan. karena setiap orang yang beriman yang berfikir dengan hati nuraninya akan mengakui bahwa tidak ada manfaatnya menggosipkan seseorang apalagi berusaha membuka aib atau keburukan orang lain.
read more...

Mencaci Maki Orang Mukmin Merupakan Kefasikan




Dari Abdullah bin Mas’ud Rasulullah bersabda:
“Mencaci maki orang mukmin adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim ini diriwayatkan pula oleh Ibn Majah, sebagaimana dikutip kembali  oleh Ibnu Qayim Al-Jauziah (1996:350).

Dalam kehidupan sehari-hari, caci mencaci, maki-memaki serta bunuh membunuh – bahkan yang dilakukan oleh sesama muslim dan mukmin – sudah menjadi pemandangan rutin tiap hari.

Perilaku semacam itu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang awam atas ilmu pengetahuan dan keagamaan, bahkan dilakukan oleh mereka yang terdidik serta memiliki posisi terhormat di tengah masyarakat. Tidak jarang pula caci maki sering terlontar dari mulut seorang pejabat ataupun birokrat.

Bahkan pula, perilaku buruk tersebut juga kerap mewarnai acara-acara seperti kongres, muktamar, munas ataupun mukernas,  yang digelar oleh aktivis mahasiswa, pemuda keagamaan dan pegiat sosial kemasyarakatan.

Padahal dalam hadits di atas, Rasulullah saw menyamakan pelaku caci maki dengan kefasikan, dan membunuhnya adalah kekafiran.

Fasik (fasiq) oleh Nurcholish Madjid (alm) dimaknai sebagai orang yang melakukan fisq, yaitu tingkah laku yang tidak peduli kepada ukuran moral. Ketika berbuat sesuatu, dia tidak peduli lagi dengan ukuran baik dan buruk. (Ensiklopedi Nurcholish Madjid, 2006:696).

Sedangkan kafir (kufr) dari segi bahasa berarti menutupi. Term-term kafir (kufr) yang terulang sebanyak 525 kali dalam al-Qur’an, semuanya dirujukkan kepada arti “menutupi”, yaitu menutup-nutupi nikmat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti Tuhan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaran-ajaran-Nya yang disampaikan melalui rasul-rasul-Nya. (Harifuddin Cawidu, 1991:31).

Dalam al-Qur’an ada beberapa jenis kekafiran, diantaranya adalah kafir ingkar, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, rasul-rasul-Nya dan seluruh ajaran yang mereka bawa.

Ada lagi kafir juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah kebenaran. (Ibid, h. 103).

Dalam kekafiran sebagaimana terdapat dalam hadits di atas, yakni membunuh orang mukmin, kekafiran tersebut dapat dikategorikan sebagai kafir ingkar, oleh karena pelakunya telah mengingkari ajaran-ajaran Tuhan dan Rasulullah saw untuk tidak membunuh pada sesama muknin.

Untuk perbuatan caci memaki yang dinilai suatu kefasikan karena itu merupakan tindakan yang amoral, yang oleh Cak Nur disebut sebagai perbuatan yang telah mengacuhkan ukuran baik dan buruk.

Terlepas dari itu, baik caci memaki dapat membuat pelakunya kehilangan teman, kerabat, saudara, bahkan jauh dari lingkungan sosial karena predikat buruk yang disandangnya. Apalagi membunuh? Tentu sanksi moral dan sosialnya jauh lebih dasyat dari yang kita bayangkan.
read more...